***
Yin Yang
Serpihan Kisah Lalu
Prolog.
2001
Pendar-pendar
meremang lilin menerangi salah satu kamar. Lilin kecil itu berpendar
oranye melingkar samar. Kamar itu satu-satunya kamar yang bercahaya,
dibandingkan kamar yang lainnya, gelap gulita. Api lilin kecil itu
bergerak, selaras pertiupan angin yang kencang kala itu. Gorden jendela
kehijauan disanapun itu tersibak.
Rumah-rumah lainnya,
rata-rata sudah memakai lampu pijar yang menyala terang. Di dusun itu,
hanya rumahnya yang menggunakan lilin. Boro-boro untuk menggunakan
lampu, untuk makan saja susah. Jika tidak dibantu beras raskin oleh
pemerintah dan uang tunjangan dari desa untuk keluarga tidak mampu.
Lantainya hanya menggunakan tanah saja, sedangkan yang lain sudah di
keramik atau plester. Tempat tidurnya menggunakan dipan kayu, dengan
alas tikar, tanpa bantal dan guling. Jika memasak menggunakan kayu saja,
dengan tungku. Dinding-dinding kamarnya tidak kokoh, hanya berbahan
gedeg. Seperti apapun kondisi rumahnya, gubuk kecilnyalah tempat
ternyaman untuk pulang. Sebaik-baik tempat kembali adalah rumah sendiri.
Mereka tidak peduli seperti apapun kondisinya. Karena menurut mereka,
keluarga bahagia bukan dari hartanya, tetapi keharmonisan yang tercipta.
Nenek
Tia mengelus-elus puncak kepala cucu semata wayangnya. Pandangannya
yang sayu, tampak melembut. Berkedip pelan, seakan-akan sulit
mengedipkan matanya akibat kulitnya yang putih mengeriput. Otot-ototnya
tertera jelas ditubuhnya, karena tubuhnya yang kurus, seperti hanya
tulang dan kulit saja. Seluruh rambutnya putih beruban tergelung rapi.
“Kamu
yang sabar ya, Nak... Sebentar lagi Ibumu pulang... Kamu belajar yang
rajin ya,” suaranya lirih. Rapuh. Terdengar sangat renta.
Shilla
mengangguk prihatin. Neneknya sudah terlalu uzur untuk merawatnya.
Tetapi, Ibunya bekerja hingga pulang larut. Berangkat pagi pulang pukul
sepuluh malam. Terkadang, beliau pulang pukul sebelas malam. Sedangkan
sekarang, baru pukul sembilan. Itupun jika perkiraan Shilla tidak salah.
Dirumahnya tidak memiliki jam. Boros membeli batre. Ibunya berkerja
menjadi pesuruh rumahan di dusun sebelah, punya Bapak Sion. Kalau tidak
salah bernama Pak Nero. Keluarga Pak Nero adalah keluarga yang paling
kaya disini. Butuh waktu satu jam untuk kerumah keluarga Pak Nero. Harus
melewati hutan dan sungai terlebih dahulu. Untungnya, dihutan itu hanya
ada burung, monyet kecil, dan ular saja. Tidak ada hewan buas.
Ayah
Shilla sudah meninggal sejak dia masih di perut ibunya. Ayahnya
meninggal akibat tertabrak lari mobil, dan tidak ada satupun yang bisa
melarikannya ke rumah sakit. Tidak ada yang mempunyai mobil untuk
membawanya ke rumah sakit kecuali Pak Nero. Warga hanya bisa
mengobatinya. Dan usaha itu sama sekali tidak berhasil.
Shilla
menuliskan angka-angka lagi dibukunya. Shilla baru kelas 6 SD. Dia
sekolah gratis, dibantu oleh pemerintah dusun.
Buku-seragam-tas-sepatu-pensil semua perlengkapan sekolah diperolehnya
secara gratis. Itupun akibat kecerdasan Shilla yang pernah memenangkan
lomba membaca puisi, olimpiade matematika, dan menggambar sekabupaten.
Shilla merasa beruntung. Memang, terlalu dini untuknya menerima
kenyataan ini. Tetapi itu takdirnya. Mau tidak mau, dia harus terima.
“NEK!!!!
NENEK TIA!!!!!! GRACIA DIHUTAN MBAH!!!! LARI-LARI!!!!!” teriakkan dari
balik pintu rumah. Suaranya tergesa, gedoran dipintupun bertubi-tubi.
Ribut-ribut dari luar rumah.
“ADA APA SAMA IBU????” Shilla
melupakan PR dan Neneknya yang tergopoh-gopoh kesusahan. Shilla
langsung berlari menuju pintu. Membukanya terburu-buru.
“Shilla,
Ibumu tadi minta tolong dihutan, untuk Pak Bari dengar! Mungkin
sebaiknya kamu menolongnya, tadi Pak RT, Pak RW, juga udah kesana!” Pak
Damanik, Bapak Iel berkata demikian dengan sangat terburu-buru. Beliau
terlihat cemas. Keringat dinginnya keluar, nafasnya memburu.
“Shilla
mau kesana, Pak!!” sergah Shilla cepat. Tanpa aba-aba dia berlari.
Berlari dan terus berlari. Diotaknya hanya ada Ibunya.
“Shilla...... Tunggu......!” samar, Shilla mendengar teriakan Pak Damanik, Shilla diam saja, terus berlari.
***
Shilla
mengintip dicelah-celah rimbunnya pepohonan dan semak belukar. Kakinya
yang tanpa sandal terasa kesakitan, dan gatal-gatal.
Shilla
sudah berhasil menemukan Ibunya, tidak seperti Pak RT dan Pak RW.
Ibunya terbaring pucat, nafasnya terputus melemah, wajah beliau
bercahaya tertimpa sinar rembulan. Dibelakang Shilla ada Iel. Kakak
kelasnya. Iel kelas 2 SMP.
“Jangan deketin Ibumu!”
“Ngga, Yel... Ibuku lagi butuh aku.....”
“Kamu mau mati?!” bisik Iel penuh penekanan.
“Ngga, Yel... Tapi... Ibu.....”
“Pulang! Udah malem!”
“Ibu aku, Yel....”
“Ikut kata-kata aku!”
“Ngga....”
“SHIL!”
“Ya, Yel...” Shilla menurut pasrah.
Iel jongkok, tangannya kebelakang, “Naik!”
“Apa?”
“Kamu aku gendong! Cepet naik!”
Shilla naik punggung Iel. Shilla melingkarkan tangannya. Iel membawa mereka pulang. Pergi dari hutan.
Hatinya perih... melihat Ibunya, dia ingin menolongnya, tetapi, tidak akan bisa...
Shilla mengeratkan pegangannya, memejamkan matanya, dan menangis.
***
Setelah
kembali dari hutan, Shilla melihat sekumpulan orang ribut di area
rumahnya. Seusai Iel menurunkan gendongannya, Shilla langsung dipeluk
erat oleh Ibu RT. Shilla keheranan.
Ada apa?
“Kamu sabar ya, Nak... Nenekmu baru saja pulang... Beliau kembali ke Rahmatullah...”
Shilla mendorong tubuh Ibu RT, melepaskan rengkuhannya, “NGGAK!! IBU RT BOHONG!” elaknya keras.
“Shilla....” Ibu RT melihatnya prihatin penuh pengertian.
Shilla terdiam, wajahnya tertunduk lesu. Airmatanya merembes berjatuhan.
“Rumahmu hancur. Kebakaran, Shilla... Semua warga mencari Ibumu... dan Nenekmu meninggal dikebakaran itu... Kami terlambat,”
Isak tangis Shilla semakin terdengar keras.
Separuh
nyawanya seakan terbang. Dia tidak merasakan apa-apa lagi saat itu. Dia
pingsan. Kehilangan dua orang yang disayangi sekaligus dalam satu hari.
***
“Shilla
nggak boleh di masukkin ke panti asuhan, Pak!” seru Iel. Mereka tengah
mengadakan rembug desa di balai desa untuk membahas bagaimana
selanjutnya Shilla yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
“Iel... Kamu nggak boleh bicara lantang, gitu ke pak RT...”
“Maaf, Bu...” Iel terlihat bersalah.
“Ya, bagaimana Shilla?”
“Mungkin jalan terbaik, Shilla dimasukkan ke panti asuhan...”
“Panti asuhan mana yang bersedia menerima Shilla?”
“Shilla pintar, semua panti asuhan mau menerimanya..”
“Shilla kasihan.... dia seperti anak buangan..”
“Mau seperti apa lagi? Ini jalan terbaik..”
“Tidak. Kami bisa membantunya,” seorang Ibu muda angkat bicara. Seulas senyum penuh arti tersungging dibibirnya.
***